July 25, 2018

CEWEK: SINGLE VS MARRIED

“When you stop expecting people to be perfect, you can like them for who they are.” 
― Donald Miller




Selamat sore yang menyenangkan, di hari Rabu.

Mungkin sudah beberapa waktu aku tidak menulis tentang love, life, dan motivasional. Terkadang tiga hal itu cukup sensitif, bagi beberapa orang, bagi kamu, aku, mungkin kita semua. We believe, setiap orang punya cerita masa lalu yang mendasari keputusan dan jalan yang dia ambil di masa depan. Aku menajamkan mata, telinga dan hati beberapa minggu terakhir. Kemudian, mengerucut pada satu kondisi dimana seseorang pernah mengalami masa "pengaharapan" orang lain yang terkadang tidak sejalan atau "belum" sejalan dengan cara pemikirannya atau pengambilan sikapnya, dengan hanya berangkat dari pertanyaan: "Kapan Nikah?" (tuh kan, mendadak sensitif, maybe part of you will skip this topic hehe...).

Aku tidak berdiri di salah satunya tentang pemahaman sederhana tentang wanita dan kodratnya terkait pernikahan. Aku meletakan diriku pada "masa" dimana wanita berada pada suatu kondisi yang tidak memerlukan "back up" dalam kehidupannya (dalam hal ini suami), karena beberapa faktor seperti si wanita sudah cukup tangguh, mapan, dan mampu untuk membawa dirinya, menghidupi dirinya bahkan mungkin keluarganya (orang tua dan saudara), bisa jadi karena si wanita memang punya kenangan buruk dengan sosok calon suami (atau malah udah pernah jadi suami), faktor belum siap dan belum dewasa, bisa jadi hal lainnya karena si wanita tidak memiliki ketertarikan khusus kepada lawan jenis (no need to explain I think).

Cerita di Balik Wanita yang Ingin Sendiri. Manakah dirimu?
A. Aku bisa segalanya.
Ada sebuah cerita dari orang terdekatnya, tentang salah satu temannya yang cukup berusia tapi masih memutuskan belum menikah. Orang disekitarnya mengaitkannya kepada tanggungjawabnya sebagai anak sulung, yang merasa tulang punggung keluarga, kemudian anaknya yang mandiri, posisi di kantor yang cukup baik, dan lain sebagainya. Kemudian kita coba pikir kembali, kita bisa saja melihat seseorang memutuskan belum menikah, tapi di hati bisa jadi dia sebenarnya sudah ingin menikah namun ada hal - hal yang dikhawatirkan, ada hal yang tak ingin diketahui, ada ketidakpercayadirian, dan bahkan lebih parahnya bisa jadi orang - orang ini sepersekian persen dia merasa kesepian. Sayangnya orang jenis ini tidak akan menyampaikan rasa kesepiannya atau rasa ketidaknyamanannya hidup sendiri, karena akan dianggap lemah dan semacamnya.

B. Aku bisa segalanya (padahal tidak).
Meskipun kebanyakan orang bisa membuat agris besar tentang karakter dirinya, sifat, kesukaan, bahkan ada beberapa diantaranya bisa menjadi pendengar yang baik dan penasehat yang bijak untuk beberapa kasus hidup dari sahabat - sahabatnya, namun tidak sedikit dari mereka juga tanpa sadar melakukan hal - hal yang jauh dari "saran positif dan sempurna" yang pernah dituturkan. Kadang ada yang menyebut pasangannya childist, menyebut teman - temannya tidak dewasa dan suka memperbesarkan masalah kecil, namun tanpa disadari mereka sendiri juga seringkali melakukan dan menyikapi sesuatu hal secara kekanan-kanakan. Seperti analogi bahwa saat kita menunjuk kepada seseorang, maka empat  jari lainnya justru menunjuk di diri kita sendiri, kadang benar adanya. Kita terlalu sering menggarisbawahi kesalahan orang lain, kekurangan orang lain, kemudian lupa dengan kekurangan atau kesalahan diri sendiri.

C. Betul - Betul Bisa Segalanya.
Aku masih tidak yakin jenis manusia ini ada. Karena "katanya" Tuhan tidak pernah mempersiapkan dan menciptakan umatnya dengan kesempurnaan yang abadi (atau semacamnya, dan apalah sebutannya). Hanya saja memang ada diantara dari beberapa orang terpilih yang bisa menata kehidupannya dari A - Z untuk lebih memantapkan apa yang disebut prioritas. Orang - orang jenis ini jauh dari kecerobohan atau kekonyolan yang membuat mereka berhasil menekan kesialan atau kesengsaraan diangka paling kecil. Wanita jenis ini dia mampu menjalankan "misinya" sebagai anak, sebagai kakak atau adik, bahkan sebagai teman/ sahabat baik bagi karibnya. Tapi kembali, terkadang minusnya adalah orang - orang jenis ini, belum memberikan prioritas khusus kepada tambatan hati yang justru akan dia dampingi dan mendampinginya seumur hidup karena mereka takut porsi yang diberikan kepada hal - hal terkasih disekitarnya akan berkurang. Klise sih memang, saat ditanya apa sebenarnya tanggungjawab wanita dalam hal ini? Sebagai anak untuk orang tuanya, sebagai kakak untuk saudara - saudaranya, atau sebagai salah satu makhluk Tuhan yang disiapkan khusus untuk mendampingi Adam.

Aku pernah berada pada posisi dimana merasa mampu untuk menghandle apapun yang aku lakukan, seperti pekerjaan, sebagai kakak sulung dengan dua saudara laki - laki yang pada waktu itu masih sekolah, kemudian yang terpenting bisa mendampingi orangtua. Paham betul rasanya ditambah jika kita tak pernah yakin pasangan kita nantinya akan menjadi peneduh hari, pengilang peluh, pelipur lara, otak kedua yang akan menyeimbangan segala masalah yang ada dengan jalan keluar. Tiba - tiba mencari pasangan seprti itu akan menjadi hal lebih berat dari sekedar memutuskan "mau makan siang apa nanti?" Kenyataannya, keinginan untuk tidak memutuskan sesegera mungkin kadang karena ketakutan salah langkah.

Tapi sekarang, sebagai wanita yang telah menikah, kemudian sedikit mengevaluasi cara pikir 5 tahun lalu yang (untunglah) sudah berlalu. Tidak hanya tentang memilih pasangan, tapi "ilmu" memilih itu sama halnya kita memilih sekolah, kampus, jurusan kuliah, hobi, bahkan memilih bidang pekerjaan yang ingin dijalankan. Memilih pekerjaan yang bukan bagian dari keahlian, karakter dan kepribadian tentu akan jadi PR besar saat nanti dijalankan. Pekerjaan yang dilakukan tanpa niat baik, tanpa selera, tanpa memahami karakter kita dan ketrampilan akan justru membuat kita masuk ke dalam kesulitan baru. Seperti saat memilih pasangan. Saat kamu memilih dan menjalani tanpa tau bagaiamana karakter kedua orang bisa menjadi satu dengan baik, atau bagaimana keterampilan dua belah  pihak saling mengisi dengan kebaikan, atau bisa juga dengan bagaimana kerjasama keduanya, untuk bisa menjadikan masa depan lebih baik seiring bersama, tentunya ini juga bakal jadi tanda tanya besar.

Tidak akan bisa menghakimi dua pemahaman yang berbeda tentang single vs married karena memang konsep hidup yang berlainan. Sama saja saat kita menyamakan cara pencapaian kebahagian orang satu dan yang lainnya akan tetap berbeda meskipun dengan cara yang serupa. Bisa dibilang, manusia punya dorongan dan latar belakang sendiri - sendiri saat mereka memutuskan suatu hal, bahkan yang berkaitan tentang keputusan krusial. Pada intinya, sama seperti debat tentang agama dan RAS yang tidak akan ada habisnya, begitu juga jika membandingkan konsep single dan married. Tidak bisa menyalahkan dan menggangap satu sisi yang lebih baik, karena lagi - lagi setiap orang dan pelaku memiliki cerita hidup yang beragam.

Tenang saja.
Kehidupan manusia adalah proses pencarian dan pembelajaran. Jadi jika salah tidak masalah, asal tidak fatal dan masih bisa diperbaiki. Sore ini, saat aku menulis kalimat terakhir ini, playlist musikku cukup menarik perhatian. "Finding Hope - 3.00AM" Bukan tentang judulnya, kemudian tentang nama musisinya "Finding Hope" memiliki makna "Menemukan Harapan". Bukankah benar jika setiap perjalanan akan terdiri dengan cerita, dengan luka dan kegagalan, separuhnya lagi diisikan dengan semangat, bahagia, dan harapan? Ya. Selalu akan ada kebaikan di akhir cerita. Percaya saja.






Copyright © 2014 FILOSOFAST

Distributed By Blogger Templates | Designed By Darmowe dodatki na blogi