December 28, 2017

GAYA HIDUP "BRANDED": SEPENTING APAKAH?

“To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment.” - Ralph Waldo Emerson




Bicara soal barang mahal.
Eh. Bicara soal branded.


Tema blog kali ini, bagi beberapa orang mungkin nampak menyimpang dan jauh dari perihal "traveling" tapi sebenarnya jika dari semua history tulisan di sini ada beberapa postingan tentang life, love, dan tips - tips menarik contohnya tentang public speaking dan sebagainya. Fenomena "barang mahal" atau "barang branded" sebenarnya sudah ada sejak  beberapa tahun lalu, tapi dengan adanya media sosial eksistensi produk maupun konsumen yang ikutan eksis dan menggunakan sosial media sebagai alat untuk mengekspose produk semakin mudah untuk dilakukan. Kenapa hal ini semakin menjadi jadi sekarang?

Manusia sekarang, khususnya netizen atau pengguna aktif sosial media memiliki kebutuhan atas pengakuan dari eksistensi yang aku sempat singgung di atas. Pengakuan ini bisa diperoleh dari berbagai hal yang pada intinya adalah mengelompokan mereka pada kategori tertentu, kesan yang ingin diperoleh melalui personal brand yang mereka tampilkan di timeline sosial media. Sosial media kali ini yang masih aktif dan paling sering digunakan jadi media sharing foto, location ataupun statement bisa melalui facebook, instagram, twitter, path, snapchat, dan ragam medsos lainnya yang semakin menjamur keberadaannya.

Istilah: follow, like, love, dan semua bentuk istilah yang secara simbolis menjadi bentuk pengakuan dari followers, liker, atau inner circle pertemanan si pemilik akun seolah menambah kepercayaan diri, rasa puas, kesenangan, dan semacamnya. Coba bayangkan, 1 kali post foto di instagram, lantas tak kurang dari 1 jam kita mendapatkan puluhan atau bahkan ratusan like, ini memberikan "adrenalin" sesaat untuk bisa mengalami hal yang sama dan sama lagi secara berulang.

Ask Yourself!
Ada beberapa cara untuk menilai, apakah kita termasuk orang ya "nagih" untuk menunjukan status sosial kita di sosial media bisa dengan mengevaluasi diri pada beberapa poin berikut:
1. Apakah kamu suka posting tentang wajahmu (selfie), memperlihatkan lentiknya bulu matamu, seksinya bibir, atau seluruh bagian tubuhmu, yng mendominasi isi album foto?
2. Apakah kamu lebih dominan memposting tentang kegiatanmu dan teman - temanmu di acara bergengsi, atau semacamnya?
3. Apakah kamu sering memposting tentang barang - brang yang kau kenakan, nge-tag brand (atau engga nge-tag tapi di zoom merk nya- hehehe), make up yang kamu pakai dan lain sebagainya?
4. Apakah kamu pernah upload / posting nota belanjaan kamu atau gambar tas belanjaan kamu dengan caption: "Duh kalap nih!" (Jenis kata - kata dwimakna, antara nyesel sama nih gw belanja ini nih. Kekekke!)

Jika dari 3 pertanyaan di atas, hati nuranimu langsung bilang iya, (meski mulut ngeles berkata tidak), berarti sebenarnya kamu sudah mulai ketagihan buat eksis atau mulai "mencintai" pengakuan di dunia maya. Means, kamu ngga perlu tau atau kenal in-personal sama yang ngelike atau yang follow tapi kamu bisa dikenal atau disukai banyak orang dengan postingan kamu. Entah ini sudah menjadi culture baru atau tidak, tapi sedikit banyak para pengguna medsos saat ini mengalami pergesaran tingkah laku. (iya engga hayo ngakuuu...). Lantas apakah ini salah? Aku tidak bisa bilang ini slah atau benar, selama pada kadarnya.

Self Obsession. Source: Callboxinc

We have to remember that:
status sosial manusia satu dan lainnya berbeda, secara ekonomi, secara kesukaan, kehidupan yang dijalani, lingkungan yang berbeda - beda dan banyak faktor lainnya. efek positif kepada orang lain bisa saja kamu jadi inspirasi atau jadi role model mereka, tapi bisa saja efek negatifnya kamu dianggap sombong, pamer, dan semacamnya. Bahkan bisa saja kamu jadi target kejahatan atau perampokan karena pelaku sudah tahu kemampuan ekonomi dan barang mahal yang kamu miliki. Melihat hal ini, kemudian sejauh mana kita bisa mengekspose barang - barang mahal/ branded yang kita punya?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, aku sempat ada dalam beberapa pemahaman tentang keharusan memiliki barang branded. Dengan uang Rp. 5.000.000, sebanyak 5 orang dari 5 teman saya menjawab berbeda satu sama lainnya. Eh waktu itu 5 termasuk aku sih. Ada dari mereka, 5 juta mending beli emas/ perhiatan (arahnya investasi), yang lainnya menjawab tas atau sepatu, lainnya lagi gadget, ada juga yang menyebut perawatan wajah dan semacamnya. Bagaimana denganku? sejauh mana aku menilai brand itu penting?

Evaluasi diri:
Aku mulai bekerja di usia SMA. Ingin beli ini itu banyak sekali, terbatas karena rasa "nggak enak" kalau minta uang sama orang tua (Ye kan sungkan tauk!). Akhirnya karena ini, aku secara tidak langsung diajari tentang bagaimana cara mendapatkan barang - barang yang aku inginkan dengan menabung. Saat kita berhasil menabung, bahkan menabung dari uang hasil kerja, lama kelamaan akan merasa sayang saat membelanjakan uang. Ya iya kan, sejarahnya cari duit itu, susah banget nyarinya, tapi cepet banget habisnya. Setuju?!

Jadi anak kuliahan. Di sini, masih belum paham istilah pentingnya brand. Tapi lama kelamaan, nyoba beli kaos distro (((distro))) yang pas itu lagi hietzzz banget di Yogya. Bolak balik dipakai dan jadi kaos favorit  (kaos doang lo ini) selama berbulan - bulan, hingga akhirnya berhenti pakai pas warnanya udah agak luntur karena keseringan cuci pake.

Jadi pekerja. Pada fase inilah perubahan demi perubahan mulai muncul. Perkembangan paham barnd ini hanya sekitar 20% (saja). Di sini, aku hanya menggaris bawahi produk - produk make up khususnya lipstik ataupun bedak, sementara untuk fashion dan asesoris pendamping lainnya masih bukan menjadi konsentrasiku. Waktu terus berkembang, akhirnya aku mulai memiliki kecenderungan tertentu kalau urusan brand. Tapi, God blessed aku masih bisa dibilang aman dari sifat "shopaholic" dan congkak (kayaknya sih. Hehhehe...) Aku lebih prefer mengeluarkan budget lebih untuk hal hal seperti liburan/ traveling. Sementara untuk produk, tas dan sepatu bukan pilihanku, justru aku lebih berpikir aku tidak bisa bertahan dengan 1 jam tangan saja atau hanya punya 1 gadget saja (gadget dalam hal ini bukan berarti aku harus punya banyak hp atau upgrade HP mulu dengan seri terbaru). Aku penyuka teknologi (meski aku ngga paham - paham banget tapi aku berusaha tau) dan aku suka belajar hal baru, termasuk membuar video, tools untuk editing, jadi saya mending beli mahal untuk perlengkapan pendukung seperti kamera, asesoris, atau mungkin tidak menutup kemungkinan saya akan lebih memilih drone dari pada tas Marc Jacobs yang super kece itu.

Shopaholic. Source: static.filmannex.com

Jump ke pertanyaan di paragraf sebelumnya: kemudian sejauh mana kita bisa mengekspose barang - barang mahal/ branded yang kita punya?

Posting boleh tidak?
Boleh. Selama pada kadarnya. Berimbang.

Tips biar ngga dikira pamer terus:
1. Wajar jika kita ingin berbagi euphoria karena bahagia abis beli atau mendapatkan sesuatu yang istimewa, tapi boleh lo diseimbangkan dengan post lainnya yang inspiratif misalnya, tentang keluarga, tentang quote motivasi, tentang hal - hal lain dibantu caption yang menarik.

2. Perhatikan bahasa yang kamu gunakan untuk caption. Ya okelah, mungkin bebas toh medsos punya siapa kenapa repot mau posting aja. Cuma sebenarnya kadang kenyinyiran berawal dari bahasa (Ya kan? Ya kan??) Bahasa kita udah bener dan baek aja kadang bisa dinyinyirin orang (apalagi kalau kita memilih bahasa yang kurang tepat seperti bernada mendeskriditkan golongan tertentu, merasa terlalu bersyukur, merasa terlalu beruntung, dan lain sebagainya).

3. Buat berjaga - jaga, kurangi foto produk branded kamu dengan zoom in camera (biar kelihatan tapi hanya samar - samar, kan malah bikin penasaran). Soalnya kalau di blur, tar dikira gambar porno. #Ngakak

4. Selalu ingat bahwa kita semua hidup di dunia nyata. Ketagihan medsos dan kemauan tampil eksis dengan barang branded jika tidak pada kadarnya (profesional atau komersil) bisa - bisa membuat kamu hidup di dunia maya lebih lama. Jika kamu memang bekerja di bidang content writer, fashion blogger atau semacamnya yang bekerja secara profesional dengan hal - hal yang dekat dengan barang mahal, ini bisa jadi lain cerita.

Pendapat baik dan buruk memang akan selalu ada apalagi sekarang kita hidup di masa yang memang kuat banget dengan efek sosial media (hingga muncul istilah haters, silent reader, dan semacamnya). Tapi kembali ke tema "Seberapa penting gaya hidup branded?" Pastikan, kamu sendiri tidak "kesulitan" selama berusaha memenuhi kebutuhan akan barang mahal / branded ini. Jangan sampai, kebutuhan ini justru menggeser hal - hal yang lebih prioritas, lebih penting atau justru membuatmu addict hanya untuk mendapatkan pengakuan publik.


Love yourself!







Copyright © 2014 FILOSOFAST

Distributed By Blogger Templates | Designed By Darmowe dodatki na blogi